Nasib difabel di Klaten masih jauh dari jangkauan jaminan kesehatan. Hal itu terbukti masih adanya ribuan orang difabel di Klaten yang belum memiliki Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Data di Paguyuban Penyandang Cacat Klaten (PPCK), dari total 9.200 orang difabel, hanya 40% yang sudah memiliki jaminan kesehatan.
Permasalahan itu muncul saat Sarasehan Refleksi Dua Tahun Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Klaten No. 2/2011 tentang Kesetaraan, Kemandirian, dan Kesejahteraan Difabel di Aula Bank Klaten, Kamis (5/12/2013). Selain jaminan kesehatan, perhatian pemerintah juga masih kurang di bidang pendidikan, dan pekerjaan.
“Walaupun Perda itu sudah diterbitkan dua tahun lalu, namun belum semua bidang ada kesetaraan difabel. Dari 9.200 orang difabel yang ada di Klaten, baru 40% yang sudah mendapat jaminan kesehatan. Selain itu, masih ada seorang anak difabel yang ditolak ketika hendak mendaftar di sekolah umum dengan berbagai alasan. Juga, akses untuk mendaftar PNS [pegawai negeri sipil] yang masih sulit terutama saat tes kesehatan,” kata Ketua PPCK, Edi Subagyo, saat menjadi pembicara dalam sarasehan.
Permasalahan lain, lanjut dia, adalah sejumlah fasilitas umum yang belum ramah difabel. Misalnya ada salah satu trotoar yang terganggu tiang listrik, pohon, bahkan digunakan sebagai lapak pedagang kaki lima (PKL). Ia berharap Pemkab Klaten bisa memperhatikan permasalahan yang masih dialami para difabel sehingga implementasi perda tersebut bisa maksimal.
Perwakilan dari Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM) Solo, Dyah Ningrum Roosmawati, juga membeberkan hasil penelitiannya tentang keadaan difabel di Klaten. Saat penelitian, ia mengumpulkan 60 responden yang terdiri atas 40 orang difabel anak dan 20 orang difabel dewasa. Hasil penelitian itu dibagi menjadi beberapa kategori, di antaranya kesetaraan di bidang pendidikan, kesehatan, dan kekerasan yang dialami difabel. “Hasil penelitian kami, di bidang kesehatan, 50% dari 60 responden tidak memilki jaminan sosial seperti BLSM [bantuan langsung sementara masyarakat] dan jaminan kesehatan,” katanya saat paparan dalam sarasehan.
Di bidang pendidikan, lanjut dia, 35% difabel dari total responden, ditolak saat hendak masuk sekolah umum, bahkan sekolah inklusi. Alasan penolakan itu karena keterbatasan guru pendamping atau kuotanya penuh. “Padahal, penolakan itu tidak sesuai amanat undang-undang yakni semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan,” ujarnya.
Selain itu, dari semua responden tersebut, sebesar 54% difabel telah mengalami kekerasan psikis. Sedangkan pelaku kekerasan tertinggi berasal dari keluarga yakni sebesar 33% dan dari guru dengan 21%. “Masih banyaknya permasalahan di lapangan karena difabel masih dianggap lemah sehingga rentan dengan tindak kekerasan. Untuk itu, harus ada peran dari semua pihak mengembangkan diri para difabel sehingga mendukung implementasi Perda Difabel di Klaten agar lebih maksimal,” tuturnya.