Rintisan Program
Rintisan Program
Rintisan Program
Wonogiri, 26//2018/PERSEPSI. Hasil hutan kayu sudah banyak didengar. Tetapi hasil hutan bukan kayu belum banyak digarap sebagai isu program yang seksis dan memberi daya dukung bagi pembiayaan operasional PERSEPSI.
Perbincangan dengan sejumlah eks staff Timber Forest Trust, saat bertemu di Jakarta maupun pembicaraan lewat telepon, akhirnya ditindaklanjuti dengan pembicaraan yang lebih operasional menjadi program berbasis dorongan pasar. Getah pinus hutan rakyat menjadi inti pembicaraan antara Tim PERSEPSI dan eks staff TFT sebagai perpanjangan dari kelompok pembeli (Buyer Group). Pembicaraan di Wonogiri pada awal Juli 2018, yang merekomendasikan adanya study mikro atas wilayah pasokan getah pinus dilakukan di Ponorogo dan Pacitan. Walhasil, hasil studi ini diminat kelompok pembeli, dan dijajagi untuk bisa menjadi program bersama dengan buyer group pada hari Minggu 5 Agustus 2018 di Fave Hotel Jl Colomoadu Solo, jam 10.00-12.00.
Akan hadir dalam diskusi tersebut dari PERSEPSI diwakili oleh Yanti Susanti (Direktur), Taryanto Wijaya (Wadir PPSDI), Edhy Supriyanto (Wadir PKLH), dan Tri Yuli Umiyati (Wadir PPUKM). Business Meeting tersebut bertujuan untuk menyekati platform bersama dan pembagian peran dalam pengelolaan dan pemasaran hasil hutan bukan kayu berupa getah pinus rakyat dari sejumlah daerah yang didampingi oleh PERSEPSI. Kabupaten Ponorogo, Pacitan, Tulungagung, dan Wonosobo, menjadi lokus yang ditawarkan untuk kerjasama jangka panjang dengan perusahaan pengolah getah pinus rakyat.
ppsdi tw
(sebuah refleksi untuk bahan rapat gabungan, Sabtu, 9 September 2017)
oleh: Taryanto Wijaya
Meski tidak mudah tetapi harus melakukan. Itulah yang harus dilakukan PERSEPSI ketika harus menggeser cara pandang perancangan dan pengelolaan program dari semula berbasis desa menjadi berbasis pengembangan kawasan. Ini artinya, cara pandang perancang dan pengelola program harus bergeser dari satuan administratif ke kesatuan sumberdaya dan aksesibilitas dan distribusi manfaatnya.
Bidang PKLH sudah mencoba mengawalinya dalam pembentukan satuan pengelola hutan dari berbasis desa menjadi berbasis hamparan hutan yang membentuk satu kesatuan ekosistem, dengan sedikit mengabaikan batas administrasi desa. Sedangkan bidang PPUKM juga telah mencoba dengan pembentukan koperasi SETARA yang lintas desa, serta pendekatan program tenun lurik yang lintas kecamatan di Kabupaten Klaten.
Studi Semagar menjadi entri baru untuk bagaimana memulai mengembangkan program berbasis sumberdaya lintas desa dan jaringan aksebilitas jalan dan distribusi kemanfaatannya. Meski masih sulit, tetapi upaya kesana makin jelas arah dan tahapannya.
Satu area yang didekati bersama lintas bidang program di PERSEPSI mengharuskan tata kelola tim dan informasi secara baik dan terpadu. Ini tidak mudah, karena ada wilayah wilayah teknis, kelembagaan, dan jaringan yang menuntut pengeloaan bersama dengan fungsi masing masing secara saling terkait. Rencana ekowisata mengharuskan adanya pengembangan pengolahan sumberdaya lokal agar memiliki nilai pasar yang baik. Demikian halnya dengan memperbaiki tata kelola tim pelayanan para pengunjung, akses menuju lokasi wisata dan jalur jalur utama yang memungkinkan potensi ekonomi lain di beberapa desa bisa turut dikembangkan.
Agaknya, kepastian arah dan tahapan menjadi wilayah yang masih butuh dipikirkan agar posisi dan peran PERSEPSI tidak gamang dalam menyikapi begitu besarnya tuntutan masyrakat untuk bisa menjadi pendamping pengelolaan ekowisata di berbagai wilayah.
GAGASAN PROGRAM INNOVATIF Oleh: Taryanto Wijaya (Tim Ahli PERSEPSI)
PENDAHULUAN
NGO di ujung tanduk. Ketika rakyat di sebuah negara berada dalam kungkungan kebijakan dan program pembangunan yang lebih memihak kelas mapan, NGO bergerak melakukan sejumlah aksi memperkuat kelompok basis untuk menuntut hak. Namun ketika peran mendidik rakyat mulai dimainkan oleh Pemerintah melalui lembaga-lembaga konsultan, peran NGO makin terpinggirkan. Sejumlah NGO yang semula bak cendawan di musim hujan, tergulung secara perlahan begitu muncul program nasional pemberdayaan masyarakat. Sejumlah aktifis NGO yang semula bersikap ideologis dan kritis, secara perlahan ditaklukan oleh mekanisme keproyekan dan tunduk pada kebijakan Pemerintah, dan menjadi peminta-minta baru, dalam menuntut mendapat bagian dalam pendampingan kelompok masyarakat. Ini sebuah ironi, dari sikapnya semula yang mendorong kemandirian, sikap kritis, dan keberlanjutan.
Titik Pangkal Pergulatan
Sebenarnya, pada dasarnya menjadi tanggungjawab Pemerintah atas nama negara untuk memberdayakan masyarakatnya. Namun demikian, banyaknya kebutuhan masyarakat dan terbatasnya anggaran pemerintah sering menjadi alasan, tersingkirnya kelompok-kelompok masyarakat yang tidak beruntung dari proses pembangunan. Pada situasi demikian kelompok-kelompok kritis yang tergabung dalam Organisasi Non Pemerintah (NGO) menemukan alasan pembenar untuk melakukan pembelaan hak, pemberdayaan masyarakat.
NGO hadir membangun penyelesaian atas masalah dan pengembangan atas potensi lokal, dengan lingkup sempit, dengan pendekatan partisipatif, dirasakan lebih menjawab problem riil di tingkat masyarakat. Programnya bersifat baru, dukungan manajemen yang efektif, menjadikan NGO seakan berada dki atas angin.
Namun demikian , kemampuan pendanaan mandiri, ruang lingkup yang ditangani sempit, SDM yang kurang memadai dan transfer kemandirian yang lemah, menjadikan program-program NGO seperti obor minyak, makin lama makin redup, dan mereka meninggalkan masyarakat dampingannya (grassroot) atas nama mencari kelayakan ekonomi keluarga dan masa depan.
NGO ditinggalkan, dan hanya sedikit yang masih dapat dan mau bertahan menjadi pegiat (aktifis) di NGO, bejibaku dengan program pengorganisasian kelompok basis, advokasi untuk perubahan kebijakan, hingga pembelaan hukum di pengadilan.
Kemandirian NGO
NGO memiliki empat pilar utama agar tetap memiliki daya kritis, daya dorong bagi perubahan, sebagai berikut:
1) Dukungan mandat dari kelompok dampingan dan belaan2) Kelembagaan masyarakat yang dibentuk untuk menjaga sikap dan kritis dan sistem pengendalian perubahan.
3) Kemandirian dan keragamaan sumber pendanaan
4) Program yang innovatif (baru) dan dibutuhkan untuk mendukung bisnis masyarakat,
Jika salah satu dari empat pilar itu runtuh, maka menjadi berat bagi NGO untuk tegak dan tetap bersikap kritis dalam perubahan pembangunan , dimana akses dan kontrol atas keputusan pembangunan sudah begitu terbuka bagi masyarakat.
Langkah Kedepan: Innovasi
Jika pada mulanya, NGO semacam enggan untuk berbicara tentang bisnis dengan semboyan nirlaba (non profit organisaation), maka perubahan keadaan di tingkat kebijakan pembangunan, alokasi sumberdaya pembangunan, dan juga minat masyarakat pada bisnis, mau tidak mau mengharuskan NGO untuk menafsir ulang dan menata kembali sikap dan posisi tawarnya dalam pergulatan pembangunan.
Hal yang paling krusial dari NGO adalah methodologi pendampingan terhadap masyarakat akar rumput (grassroot) yang mengalami perubahan mendasar dan sporadis dari proses pembangunan dan akses terhadap informasi.
Program yang innovatif, yakni baru, unik, dan lebih efektif untuk pengelolaannya secara lebih mandiri, dan diakses lebih banyak masyarakat, dan terintegrasi dalam sistem informasi dan manajemen perubahan, menjadi tantangan baru bagi banyak NGO yang ingin tetap eksis dalam meniti perubahan. NGO sebenarnya menjadi mitra penting pemerintah dan masyarakat serta assosiasi bisnis ketika program-program yang diiniasinya bersifat baru dan memberdayakan masyarakat dan sistem secara lebih maju dan cerdas.